Senin, 29 Agustus 2011

Jelang Syawal... Dalam Dekapan Cinta-Mu

Kumandang cinta bergema hingga ke hati
Lafaz-lafaz asmara memanggil jiwa yang rapuh

Rapuhnya aku, Kau Maha Tahu
Pagi siang malam, dunia yang kutuju
Saat kujatuh baru kusadar, Kau-lah segalanya

Tuhan kuangkat kedua tanganku
Sudikah Engkau menerima cintaku
Berdarah-darah akan kutempuh
Menggapai tarikat cinta-Mu

Tujuh syurga pun aku tak pantas
Menerima diri yang bersimbah dosa
Kuharap cinta dan ampunan-Mu
Setinggi arays-Mu
Seluas semesta cinta


Rabbi, dipenghujung Ramadhan yang mulia ini, aku tertegun disini, masih di ruangan yang sama.
Ruangan yang jadi tempatku berkarya sejak hari pertama Ramadhan-Mu tiba.
Ruangan yang menjadi saksi setiap keluh kesah atas kesibukan, sedu sedan tangisan atas rasa cinta yang terasa membuncah dan saksi atas ikhtiar untuk mengejar target ibadah Ramadhan.

Kini, di ruangan ini, aku mengangkat tanganku...
"Allah, ku angkat kedua tanganku. Sudikah Engkau menerima cinta dan ibadahku selama Ramadhan...?
Cinta dan Ibadah yang mungkin saja hanya sisa dari kelelahan atas kesibukanku.
Ibadah yang kukerjakan ditengah keresahan dan kadang tidak jua fokus.
Ampuni aku, berikah rahmat dan maghfirah-Mu padaku... Dengan cinta-Mu, jangan biarkan Ramadhan-ku menjadi sia-sia bahkan tak berarti apa-apa. Amin"

Salam Takzim
Yaya





Rabu, 10 Agustus 2011

RESAH


Ketika panas menjadi terasa dingin, ketika waktu menjadi terasa melambat
Mata memanas, tapi air mata kesejukkannya tak kunjung keluar
Tersenyum, tapi hati menangis…
Rasa yang aneh… tak mampu dikatakan apalagi digambarkan
Mungkin tak begitu penting untuk dibahas, tapi cukup sulit untuk dilepas
Tidak jelas… 

                                                                                                    Salam Takzim : Yaya

Rabu, 03 Agustus 2011

Harmonisasi

@Villa Lemon-Lembang

Perpaduan gelap dan terang, bisa jadi siluet yang indah
Maka dari itu, Allah ciptakan segala sesuatu berpasangan untuk perpadu
Sehingga terlihatlah harmonisasi yang luar biasa

Salam Takzim
Yaya ajah

Selasa, 02 Agustus 2011

Ramadhan Bersamamu

                                 ~View dari lantai 2 rumah ~


Duduk ditepian Sya'ban... 
Menatap mentari yang semakin memerah dan menurun...
Perlahan-lahan dia pergi....

Kini,,, aku duduk kembali menatap langit
Berada dalam dekapan Ramadhan yang indah

Ramadhan ini terasa lebih penuh berkah
Bersamamu dalam dekapan dakwah ^^


Bandung, 2 Agustus 2011
Disuatu sore, di ruang meeting....

Kamis, 28 Juli 2011

Merajut Harapan


Mohon dengarkan aku malam ini
Untuk ringankan langkah kaki
Dengarkan…

Do’aku semoga aku tak terlambat
Memberi yang terbaik dari hidupku
Semoga Kau terima semua ibadahku
Masukkanlah diriku tuk kekal di syurga-Mu

Mohon pilihkan dari yang kupinta
Pilih yang terbaik untukku
Do’aku…

Do’aku by Ali

Harapan ibarat sayap bagi burung. Dengannya, ia dapat terbang menjelajah kemana pun ia mau. Tak terbatas dan bebas. Maka, wajarlah bila disebutkan bahwa manusia hidup dengan harapan-harapannya, jika ia sudah tidak memiliki harapan, maka ia tidak akan bisa bertahan hidup.

Harapan ibarat air bagi ikan. Dengannya, ia dapat menjelajah dunia, berenang-renang dengan bebas di lautan lepas. Meski Nampak tak terbatas, tapi selalu ada arah yang dituju, selalu ada jalan yang jadi panduan. Maka, begitulah manusia, meski ia bebas dengan semua harapannya, tapi ada tujuan yang hendak dicapai dari semua harapan itu. Tujuan yang akan membuatnya mampu mempertahankan harapan-harapan dalam dirinya.

Harapan ibarat obat bagi tubuh yang sakit. Dengannya, ia dapat pulih dan mampu mengejar apa yang dituju. Memang kadang terasa sangat pahit, tapi ia bisa menyembuhkan hati yang sakit dan pikiran yang terluka. Ia bisa meyakinkan qalbu yang ragu bahwa kita cukup kuat untuk menjalani kehidupan.

Harapan… adalah harta berharga yang tak mungkin aku jual bahkan hingga nyawa hendak terlepas dari raga. Karena dengannya aku bisa membalikkan keadaan sesulit apapun. Dengannya, aku bisa menekan rasa takut dan memunculkan keberanian. 

Harapan… adalah ikatan paling akhir yang mengikatku dari ruh kehidupan. Maka, selagi Dia memberikan aku waktu, aku tak akan pernah melepaskan ikatan itu. Menahannya dan memastikan ia tetap kuat mengikatku hingga waktu melepasnya tiba…. Yaitu, saat bertemu dengan Pemilik Harapan itu sendiri. 

Merajut harapan. Itulah tema hari-hariku kini. Meski benang-benang ini Nampak usang, warna sudah tak jelas bahkan rusak. Bagian-bagian benangnya sudah mulai tak beraturan, ada juga helaiannya yang keluar dari ikatan. Tapi, aku tetap berusaha menyatukannya dan merajutnya dengan jarum yang masih kuat walau terlihat berkarat. Aku akan terus merajutnya dan membentuknya menjadi sesuatu…. Sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang indah, sesuatu yang akan membuat orang lupa bahwa ini berasal dari benang-benang yang sudah rapuh dan hampir akan dibuang.

Merajut harapan dan menjaga keoptimisan. Meski ternyata aku tak sanggup menyelesaikan rajutan ini, karena waktuku telah tiba. Setidaknya, aku termasuk golongan orang yang bersungguh-sungguh dan jauh dari putus asa. Semoga itu jadi tabungan amal untuk pertimbangan-NYA kelak.

Salam Semangat
Yaya


Kamis, 14 Juli 2011

Keterhijaban dan Berbaik Sangka

Kisah ini adalah sebuah sejarah kecil pada masa 'Abbasiyah akhir. Kisah tentang ayah dan anak laki-lakinya.
"Ketahuilah," kata sang ayah pada anaknya, "Seorang yang syahid di jalan Allah itu hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh, dia akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya menanti hari kiamat dengan terbang ke sana- kemari dalam tubuh burung hijau di taman surga, dan diizinkan baginya memberi syafa'at bagi keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu Nak, dengan berjihad lalu syahid di jalan-Nya". Sang anak mengangguk-angguk.

Untuk menjemput syahid yang mereka cita-citakan, ayah dan anak ini sepakat untuk mempersiapkan diri dengan membeli seekor kuda perang berwarna hitam. Kuda itu indah, surainya mekar menjumbai. Tampangnya mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam. Kakinya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik.

Sesampainya di rumah, semua tetangga datang untuk mengaguminya. Mereka berkomentar "Kuda yang hebat!" kata mereka. "Kami belum pernah melihat kuda seindah ini. Luar Biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan untuk membeli kuda ini?". Saat mereka tau bahwa mereka menghabiskan semua uang tabungan yang mereka miliki untuk membeli kuda tersebut, mereka berkata "Uang sebanyak itu dihabiskan untuk membeli kuda?Padahal rumah kalian masih reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun belum tentu ada. Tolol!!!".

Menanggapi komentar para tetangganya itu, mereka berkata sambil tersenyum "Kami tak tau, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah".
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itupun merawat kudanya dengan penuh cinta. Makanannya dijamin kelengkapannya. Si kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah.
Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta, ketika ayah melongok ke kandang, dia tak melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jeruji kayu terkoyak remuk. Kuda itu hilang!
Para tetangga pun berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Mereka berkata "Ah, sayang sekali!" kata mereka. "Padahal itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya datang sejenak untuk memenuhi ambisi kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian".

Sang ayah sambil mengelus kepala anaknya sambil tersenyum "Kami tak tau, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah". Dia melanjutkan, "Dengan atau tanpa kuda itu, jika panggilan Allah untuk berjihad datang, kita harus menyambutnya". Si anak mengangguk mantap.
Tiga hari kemudian, saat shubuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara ringkikan bersahutan. Ternyata, di kandang kuda mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Ya, itu kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu. Tapi kuda itu tak sendiri, dia bersama belasan kuda lain. Kuda-kuda liar!

Ketika hari terang, para tetangga datang dengan takjub. "Luar biasa", kata mereka. Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya. "Wah, kalian kaya-raya! Kalian orang terkaya di kampung ini". Tapi ayah dan anak tersebut kembali hanya tersenyum dan berkata " Kami tak tau, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah".

Di hari berikutnya, sang anak menaiki salah seekor kuda liar itu. Sukacita dia memacunya ke segala penjuru. Suatu saat, kuda liar itu terkejut, meronta keras dan sang penunggang terbanting. Kakinya patah, dia meringis kesakitan.

Para tetangga datang menjenguk. Dengan pandangan iba, mereka berkata "Kami turut prihatin. Ternyata kuda itu tidak membuat berkah. Mereka datang membawa musibah . Alangkah lebih beruntung yang tak memiliki kuda, namun anaknya sehat sentausa".

Sang ayah tersenyum, dan berkata " Kami tak tau, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah".
Hari berikutnya, hulu balang raja berkeliling mengumumkan pengerahan pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang telah menyerang perbatasan.  Semua pemuda yang sehat jasmani dan rohani wajib bergabung. Sayang, perang ini sulit dikatakan jihad di jalan Allah karena musuh yang hendak dihadapi adalah sesama Muslim. Mereka hanya berbeda kesultanan. Karena sang anak, kakinya patah maka dia tidak ikut berperang.
Para tetangga yang ditinggal putra-putra mereka mendatangi ayah dan anak tersebut. "Ah, nasib!", kata mereka. "Kami kehilangan anak-anak lelaki kami. Kami melepas mereka tanpa tau apakah mereka akan kembali atau tidak. Sementara putramu tetap bisa di rumah karena patah kakinya. Kalian begitu beruntung! Allah menyayangi kalian!".

Sang ayah ikut bersedih melihat mendung di wajah-wajah itu. Kali ini ayah dan anak ini tak tersenyum. Tapi ucapan mereka kembali bergema " Kami tak tau, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah".

Singkat cerita, tak berapa lama kemudian panggilan jihad yang sebenarnya bergema. Pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan menyerbu wilayah Islam dan membumihanguskannya hingga rata dengan tanah. Ayah dan anak itu pun menyongsong janjinya. Mereka bergegas menyambut panggilan dengan kalimat agungnya, "Kami tak tau, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah". Dan, anak tersebut adalah Al-Manshur Saifuddin Qalawun. Dia adalah salah satu Sultan Ayyubiyah di Mesir.

***
Lihatlah betapa indahnya hidup, jika kita selalu berprasangka baik kepada Allah dalam setiap takdir yang Allah tentukan. 
Begitulah, Allah merekayasa bahwa masa depan kita adalah sesuatu yang  terhijab. Tidak seorang pun yang tau, apa yang akan terjadi. Yang sebaiknya kita lakukan adalah berbaik sangka kepada Allah. Seperti yang dilakukan Qalawun yang berani berprasangka baik dalam segala keterhijaban. Qalawun yang berani berkata, "Kami tak tau ini rahmat atau musibah. Tapi kami selalu berprasangka baik kepada Allah". Seperti kisahnya, ada berjuta kebaikan mengiringi prasangka baik kita pada-Nya. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang ikhlas menerima setiap ketentuan-Nya, Amin.
dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah", Salim A. Fillah.

Rabu, 13 Juli 2011

Sabar dan Ikhlas... Itulah Kuncinya

Berbicara tentang kehidupan, mungkin akan banyak yang berubah dari masa ke masa. Makin banyak asam garam masuk ke tubuh kita, semakin banyak pula seseorang banyak belajar tentang kehidupan, entah suka maupun duka. Tapi sebenarnya ada esensi yang ga berubah dari zaman ke zaman, yang membuat seseorang terus mampu untuk menengadah menghadapi hidup. Tak ingin banyak berkata, mungkin saya ga sepintar teman-teman yang membaca tulisan ini, saya hanyalah anak muda (jangan protes :D) yang berbicara tentang kehidupan yang sederhana. Tapi harapan dan semangat berbagi akan tetap ada dalam setiap goresan tinta yang terukir.

Hati seseorang seberapa bening, tak ada yang tahu. Hati seseorang seberapa tulus mencintai, tak ada yang tahu. Hati seseorang seberapa sabar menghadapi uji pun tidak ada yang tahu. Hanya seseorang yang memiliki hati itu sendiri dan Zat yang Maha Mengetahui yang tahu. Karena memang begitulah karakteristik amalan hati, ia tak bisa berkata, pun ketika berkata belum tentu kenyataanya demikian. Sedalam-dalam lautan pun masih ada lautan lain yang lebih dalam. Sederita luar biasa yang kita rasakan ternyata ada yang lebih menderita. Dan justru ketika kita melihat orang yang menderita, ternyata kita sendiri tidak merasakan deritanya sebagai suatu penderitaan. Memang aneh dunia ini, semuanya serba semu, ga ada yang Trivial (Trivial dalam bahasa Fisika artinya Jelas).

Mari saling berpegang tangan, biar tidak saling jatuh. Berpegang dengan apa yang telah kita lihat dalam kehidupan ini. Saling menceritakan apa yang kita lihat, saling menguatkan dan saling mendoakan. Semoga kita termasuk orang yang cerdas dalam bersahabat dengan kehidupan.

Teringat, 3 tahun yang lalu saat saya pertama mengenal dunia kerja. Tanpa terduga saya diterima disebuah perusahaan multinasional milik investor dari Korea. Orang Korea, selain terkenal sebagai orang-orang pekerja keras pun terkenal sebagai orang-orang keras. Baik dalam berbicara apalagi kalau sudah marah. Saya yang seorang anak kemarin sore, yang tak pernah dibentak, yang diperlakukan Ayah bak kuning telur yang rapuh… tak pernah seumur saya hidup dibentak Ayah, kalau marah,  Ayah cukup menatap saya dengan tajam dan diam… dan saya pun akan tau bahwa saat itu lah Ayah marah. Bagi saya, marah itu sudah lebih dari cukup.  Tapi, saat itu tiba-tiba setiap hari, setiap waktu saya mendengar teriakan… Rasanya hari-hari saya dipenuhi teriakan… cacian dan makian. Bukan saya sih yang diteriakin, tapi masalahnya saya lah saksi adegan nyata film Korea itu setiap hari. Sebulan pertama, saya merasa sangat stress…

Saking ga kuatnya, akhirnya saya berkonsultasi , dan konsultan saya hanya menyarankan saya untuk Sabar dan Ikhlas. Beliau bilang, ada sesuatu yang akan saya dapatkan dari situasi kerja yang seperti itu. Sesuatu.. yang mungkin akan saya rasakan manfaatnya tidak dalam waktu dekat. Okay, walaupun tidak puas, saya pun mengangguk,meski dengan hati masih tidak clear… “Dapat sesuatu?? Apa?? Ooo ya..ya..ya… dapat ilmu stress kali yaaa….x_x”

Saya mencoba tetap bertahan. Dan akhirnya kekuatan saya hanya mampu bertahan di 4 bulan saja. Dan saya pun resign, meskipun alasannya tak hanya soal pekerjaan, tapi memang saat itu saya mulai memasuki masa pengerjaan Tugas Akhir. Akan sangat tidak efektif dengan posisi kerja di luar kota dimana saya kuliah. Saya keluar… tapi anehnya saya tidak mau menganggur alias ga kapok untuk kerja lagi. Saya melamar pekerjaan baru dan diterima. Jadi saya tidak mengalami ‘masa penantian’ kerja. Ahh… ternyata nyari kerja gampang yahhh… pikir saya waktu itu. Senang dan bangga, tentunya. Disaat teman-teman saya kelabakan nyari tempat magang, saya dengan mudahnya melenggang dari satu perusahaan ke perusahaan lain bukan sebagai mahasiswa magang, melainkan sebagai karyawan dengan jabatan yang tidak main-main dan gaji tidak ‘ece-ece’.

Tapi, tentu saja… kemudahan itu harus saya bayar dengan sesuatu yang setimpal. Saya menghadapi situasi kerja yang ternyata tak jauh beda dengan di perusahaan sebelumnya… bahkan, I think.. ini lebih parah…. Weksss… saya pun terkejut luar biasa… Walaupun sebelum masuk, banyak orang yang memberikan informasi tentang situasi kerja disana, tapi tak pernah terbayang bahwa ‘seperti ini’… satu bulan pertama, saya sakit. Teman-teman saya khawatir, mereka menduga-duga penyebab saya sakit adalah situasi kerja yang sangat underpresure.  And I think they’re not wrong… -_-

Dalam masa sakit itu, saya berpikir keras.. Okay, Ria, kamu akan bertahan atau menyerah? Make decision now!!! setelah merenung dan menimbang-nimbang, saya putuskan bertahan. Maka, saya jalani hari-hari saya diperusahaan itu. Actually, saya semakin terbiasa dengan keadaan di tempat kerja, setidaknya itu yang saya rasa. Tapi.. entahlah, apakah memang itu yang saya rasa… karena dalam 6 bulan terakhir, saya mengalami gejala tipes hampir 2 bulan sekali… wow, itukah sebenarnya yang saya rasa? Meski orang-orang bilang saya terlihat tegar, tapi nyatanya tubuh saya berkata lain. But, sekali lagi, saya tegaskan… saya akan bertahan… sampai saya benar-benar tidak bisa bertahan.

Tanpa terasa, 1 tahun sudah saya bekerja disana…. Semua jauh lebih baik, dan tanpa saya sadari… atasan saya mulai tergantung pada saya… so, saya sudah merasa tidak lagi dibawah pressure, coz I know how to manage him… hehehehe
Kemudian, Allah nampaknya masih belum puas dengan ketahananku… ujian lain pun datang. Bukan lagi pressure dari atasan, tapi… dari sebuah sistem. Yang ternyata bertentangan dengan prinsip-prinsip yang kuanut. Sistem yang sudah mendarah daging di Negara ini… yang saya tak perlu ceritakan. Dan ternyata, prinsip yang terlukai jauh lebih menyakitkan dari under pressure dalam kinerja. Jauhhh sekali.. dan itu terbukti dengan melemahnya ketahanan tubuh saya… hingga di 4 bulan terakhir saya disana, saya jadi manusia pesakitan. Setiap bulan sakit, setiap bulan test darah dan setiap hari minum obat. Tidur saya tak lagi nyenyak.. dan hati saya, jauh dari ketenangan. Dan akhirnya di 1 tahun 3 bulan, saya putuskan berhenti.

Saya rehat sejenak, kurang lebih sebulan untuk tidak berpikir kerja… tapi rupanya diam dirumah, tidak memperbaiki kondisi saya… malah rasanya tubuh saya semakin lemah dan daya tahan semakin turun. Dengan segenap keyakinan, saya putuskan untuk mencoba melamar pekerjaan…. Waktu berlalu hampir 3 bulan, semua surat lamaran yang saya kirim tak ada yang berhasil… oh, Rabbi.. kini kesabaran dan keikhlasanku diuji dengan cara yang lain… menganggur… dan ini tak kalah menekannya dengan kondisi kerjaku dulu. Apalagi saat itu posisi saya sudah selesai kuliah… jadi benar-benar jadi lulusan yang menganggur…

Suaru hari, dalam puncak kegelisan, saya pergi ke lantai 2 rumah dan termenung sendiri. Kembali merenungi keputusan-keputusan yang saya ambil, terutama keputusan untuk berhenti bekerja. Dan saya pun menemukan sebuah jawaban. Keputusan saya TIDAK SALAH. Saya resign demi sebuah prinsip yang saya yakini kebenarannya. Dan karena saya memutuskan untuk sebuah kebaikan, maka kebaikan pula lah yang akan saya dapatkan. Saya yakin… sangat yakin. Saya pun bersemangat kembali.

Dan itu terbukti di bulan keempat, saya mendapat pekerjaan baru… ditempat impian… tempat yang teduh karena banyak orang shaleh disana… ditempat yang menyejukkan hati karena Al-Quran dan amalan kebaikan adalah aktivitas kesehariannya… ditempat yang menenangkan, karena amanah adalah sebuah budaya kerja yang tak bisa diganggu gugat. Dan saya pun bersyukur… sangat dalam atas semua itu… mungkin inilah yang disebut buah kesabaran dan keikhlasan. Walaupun saya merasa malu kepada Allah, karena dalam masa transisi sebelumnya, rasanya hati saya jauh dari ikhlas dan sabar… duh Rabbi… x_x mungkin lebih tepatnya… ini adalah rahmat kasih sayang Allah, sehingga seorang yang tak sabaran dan jauh dari keikhlasan seperti saya, bisa merasakan kenikmatan seperti ini.

Tapi kini saya berpikir, ternyata ujian kesabaran dan keikhlasan saya waktu itu ga sederas akhir-akhir ini. Dan sore ini saya kepikiran untuk menulis, karena terlalu banyak yang mengusik kepala. Setiap ujian,  bobotnya berbeda-beda. Kita menganggap ujian ini sulit,tapi bagi yang lain enteng. Semua ada bobotnya dan bobotnya tergantung cara pandang masing-masing penerima. Dan cara pandang itu bisa luas bisa sempit tergantung samudra yang mewadahinya. Apakah samudra itu?

Samudra itu bernama hati, hati yang bisa merasa saat kita sedih atau senang. Namanya samudra, ya harus luas donkkk. Nah itu dia, harus meluaskan hati dengan sabar dan ikhlas, that’s the keys. Tuhan yang mengetahui  apa yang terbaik akan memberi kita kesusahan untuk menguji. Kadang Dia pun seolah “melukai hati”, supaya hikmat-Nya bisa tertanam dalam.

Jika kita kehilangan, maka pasti ada alasan di baliknya. Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti, namun kita tetap harus percaya bahwa ketika Dia mengambil sesuatu, Dia telah siap memberi yang lebih baik. Sekali lagi (entah sudah berapa kali saya tulis ini ya…) “sesuatu kadang harus terasa menyakitkan agar sesuatu yang lain terasa lebih menyenangkan”.

Kita harus merasakan sedihnya perpisahan, agar kita merasakan bahagia yang luar biasa saat pertemuan tiba. Kita harus merasakan sedihnya kehilangan, agar kita merasakan senangnya mendapatkan ganti. Kita harus merasakan sakitnya dikhianati, agar kita benar-benar memaknai arti kata loyal. Dan pasangan-pasangan perasaan lainnya, yang kadang pergantiannya tidaklah dalam waktu yang sebentar.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS 18:28)

Jangan terus merasa rapuh, karena banyak yang membersamai langkah kita. Sabar dan ikhlas mungkin susah untuk dikedepankan saat ini, tapi harus selalu dibangun sebagai fungsi logaritma dasar kehidupan. Kala bibir digigit, tangan menggenggam pasrah, bola mata menciut, air mata meleleh menahan sakitnya derita dan ujian, kau tahu dan kau rasa kita saat ini kita berada dalam kondisi paling lemah, tapi sebentar lagi Dia akan berikan kenikmatan yang tak terhingga harganya. Biarkan kesakitan-kesakitan ini menjelma menguasai jiwa, semoga Dia mengganti rasa sakit ini dengan kenikmatan dan keberkahan, ketika kita sudah sabar dan ikhlas dengan sesuatu yang memang ditakdirkan untuk kita. Sabar dan ikhlas, that’s the key. Semua nikmat yang ada di diri kita adalah amanah, bukan suatu hukuman atau pemuliaan. Dalam riuh batinmu, apapun itu, sebahagia atau semenderita kau saat ini, selalu memohon agar semua terasa nikmat untuk dijalani.

Biarkan kata-kata ini menjadi teman dalam hatimu.

“ Pengetahuanku tentang diriku atau tentang apapun amatlah sangat terbatas, sedang pengetahuan Allah meliputi segalanya, Ia Maha Tahu apa yang terbaik bagi ku sedang aku tak tahu apa yang terbaik bagiku, keputusan-Nya selalu yang terbaik, dan diriku pun harus husnudzon terhadap semua keputusan-Nya. “

Salam Takzim Penuh Cinta
Yaya

Alasan itu adalah CINTA

Menulis. Hal yang sebenarnya saya sukai sejak kecil.
Saya senang bikin catatan-catatan kecil apa saja, kadang curhatan, kadang puisi dan tak jarang juga bikin cerita-cerita pendek dengan imajinasi anak-anak. Tapi, hampir semuanya merupakan isi hati dan pengalaman pribadi biasanya.

Sampai SMA, saya masih senang menulis. Namun, sejak kuliah apalagi kerja, saya mulai ga produktif lagi dalam tulis menulis. Ga tau kenapa... Mungkin karena kesibukan... Atau....rasa malas, karena sudah terlalu banyak aktivitas (alias sibuk :D). Hal ini membuat saya kini merasa kaku dan aneh untuk menulis.

Dari semua catatan-catatan itu, ada satu yang selalu sama dan entah mengapa selalu sama... Temanya selalu tentang CINTA. Dari kecil, tema itu seperti jadi bahan wajib bagi saya untuk merangkai kata-kata. CINTA dalam definisi apapun. Rasanya selalu indah dan mudah untuk menulis jika Cinta menjadi tema utamanya.

Dulu saya tidak menyadari itu, sampai  suatu ketika disaat kuliah, saya merasa bosan dengan buku-buku mata kuliah saya, kemudian iseng-iseng saya membuka kembali buku harian Hello Kitti dan beberapa buku catatan sekolah yang saya sulap jadi buku cerita. Darisanalah saya 'ngeh' bahwa ternyata Cinta adalah tema wajib setiap goresan pena saya.

Setidaknya, kala itu saya tidak juga paham mengapa Cinta menjadi begitu melekat bahkan sejak saya kecil, tepatnya SD. Apakah saya yang terlalu berlebihan dengan perasaan atau apa... 

Tapi, kini saya benar-benar menyadari mengapa Cinta menjadi tema favorit saya... mungkin, kutipan buku Anis Mata tentang CINTA, dapat memberikan gambaran betapa Cinta memiliki dampak yang dahsyat.

"Seperti angin menbadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantahkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.

Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.

Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia.

Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari sebuah kekuatan tak terkira."

Cinta menjadi bagian dari hidup, cinta menjadi tujuan hidup dan cinta adalah hidup sendiri.
Siapakah orangnya yang merasa tak memiliki cinta, tak merasakan cinta dan tak dicintai? Jika ada yang merasa seperti itu, artinya dia tidak hidup. Karena cinta-lah, Allah, Sang Pemilik Jiwa menurunkan kita ke dunia ini dengan berbagai skenario yang harus kita jalankan. Semuanya karena cinta dan bermuara pada cinta jua... Cinta Agung dari Maha Agung.

Begitulah, dan kini, saya mencoba kembali ke dunia menulis. Alasan terbesarnya adalah CINTA. Saya merasa kehilangan kekuatan cinta, karena saya tidak bisa mengungkapkan apa yang seharusnya saya ungkapkan. Memendam rasa di kepala dan hati, membuat saya mudah 'stress' dan ga karuan. 

Semoga dengan kembali bisa menorehkan rasa kedalam rangkaian kata, dapat sedikit mengurangi beban yang akhir-akhir ini terasa semakin berat menggelayuti pundak saya.

Salam Hangat Sejuta Cinta
Yaya

Bacaan Populer