Rabu, 13 Juli 2011

Sabar dan Ikhlas... Itulah Kuncinya

Berbicara tentang kehidupan, mungkin akan banyak yang berubah dari masa ke masa. Makin banyak asam garam masuk ke tubuh kita, semakin banyak pula seseorang banyak belajar tentang kehidupan, entah suka maupun duka. Tapi sebenarnya ada esensi yang ga berubah dari zaman ke zaman, yang membuat seseorang terus mampu untuk menengadah menghadapi hidup. Tak ingin banyak berkata, mungkin saya ga sepintar teman-teman yang membaca tulisan ini, saya hanyalah anak muda (jangan protes :D) yang berbicara tentang kehidupan yang sederhana. Tapi harapan dan semangat berbagi akan tetap ada dalam setiap goresan tinta yang terukir.

Hati seseorang seberapa bening, tak ada yang tahu. Hati seseorang seberapa tulus mencintai, tak ada yang tahu. Hati seseorang seberapa sabar menghadapi uji pun tidak ada yang tahu. Hanya seseorang yang memiliki hati itu sendiri dan Zat yang Maha Mengetahui yang tahu. Karena memang begitulah karakteristik amalan hati, ia tak bisa berkata, pun ketika berkata belum tentu kenyataanya demikian. Sedalam-dalam lautan pun masih ada lautan lain yang lebih dalam. Sederita luar biasa yang kita rasakan ternyata ada yang lebih menderita. Dan justru ketika kita melihat orang yang menderita, ternyata kita sendiri tidak merasakan deritanya sebagai suatu penderitaan. Memang aneh dunia ini, semuanya serba semu, ga ada yang Trivial (Trivial dalam bahasa Fisika artinya Jelas).

Mari saling berpegang tangan, biar tidak saling jatuh. Berpegang dengan apa yang telah kita lihat dalam kehidupan ini. Saling menceritakan apa yang kita lihat, saling menguatkan dan saling mendoakan. Semoga kita termasuk orang yang cerdas dalam bersahabat dengan kehidupan.

Teringat, 3 tahun yang lalu saat saya pertama mengenal dunia kerja. Tanpa terduga saya diterima disebuah perusahaan multinasional milik investor dari Korea. Orang Korea, selain terkenal sebagai orang-orang pekerja keras pun terkenal sebagai orang-orang keras. Baik dalam berbicara apalagi kalau sudah marah. Saya yang seorang anak kemarin sore, yang tak pernah dibentak, yang diperlakukan Ayah bak kuning telur yang rapuh… tak pernah seumur saya hidup dibentak Ayah, kalau marah,  Ayah cukup menatap saya dengan tajam dan diam… dan saya pun akan tau bahwa saat itu lah Ayah marah. Bagi saya, marah itu sudah lebih dari cukup.  Tapi, saat itu tiba-tiba setiap hari, setiap waktu saya mendengar teriakan… Rasanya hari-hari saya dipenuhi teriakan… cacian dan makian. Bukan saya sih yang diteriakin, tapi masalahnya saya lah saksi adegan nyata film Korea itu setiap hari. Sebulan pertama, saya merasa sangat stress…

Saking ga kuatnya, akhirnya saya berkonsultasi , dan konsultan saya hanya menyarankan saya untuk Sabar dan Ikhlas. Beliau bilang, ada sesuatu yang akan saya dapatkan dari situasi kerja yang seperti itu. Sesuatu.. yang mungkin akan saya rasakan manfaatnya tidak dalam waktu dekat. Okay, walaupun tidak puas, saya pun mengangguk,meski dengan hati masih tidak clear… “Dapat sesuatu?? Apa?? Ooo ya..ya..ya… dapat ilmu stress kali yaaa….x_x”

Saya mencoba tetap bertahan. Dan akhirnya kekuatan saya hanya mampu bertahan di 4 bulan saja. Dan saya pun resign, meskipun alasannya tak hanya soal pekerjaan, tapi memang saat itu saya mulai memasuki masa pengerjaan Tugas Akhir. Akan sangat tidak efektif dengan posisi kerja di luar kota dimana saya kuliah. Saya keluar… tapi anehnya saya tidak mau menganggur alias ga kapok untuk kerja lagi. Saya melamar pekerjaan baru dan diterima. Jadi saya tidak mengalami ‘masa penantian’ kerja. Ahh… ternyata nyari kerja gampang yahhh… pikir saya waktu itu. Senang dan bangga, tentunya. Disaat teman-teman saya kelabakan nyari tempat magang, saya dengan mudahnya melenggang dari satu perusahaan ke perusahaan lain bukan sebagai mahasiswa magang, melainkan sebagai karyawan dengan jabatan yang tidak main-main dan gaji tidak ‘ece-ece’.

Tapi, tentu saja… kemudahan itu harus saya bayar dengan sesuatu yang setimpal. Saya menghadapi situasi kerja yang ternyata tak jauh beda dengan di perusahaan sebelumnya… bahkan, I think.. ini lebih parah…. Weksss… saya pun terkejut luar biasa… Walaupun sebelum masuk, banyak orang yang memberikan informasi tentang situasi kerja disana, tapi tak pernah terbayang bahwa ‘seperti ini’… satu bulan pertama, saya sakit. Teman-teman saya khawatir, mereka menduga-duga penyebab saya sakit adalah situasi kerja yang sangat underpresure.  And I think they’re not wrong… -_-

Dalam masa sakit itu, saya berpikir keras.. Okay, Ria, kamu akan bertahan atau menyerah? Make decision now!!! setelah merenung dan menimbang-nimbang, saya putuskan bertahan. Maka, saya jalani hari-hari saya diperusahaan itu. Actually, saya semakin terbiasa dengan keadaan di tempat kerja, setidaknya itu yang saya rasa. Tapi.. entahlah, apakah memang itu yang saya rasa… karena dalam 6 bulan terakhir, saya mengalami gejala tipes hampir 2 bulan sekali… wow, itukah sebenarnya yang saya rasa? Meski orang-orang bilang saya terlihat tegar, tapi nyatanya tubuh saya berkata lain. But, sekali lagi, saya tegaskan… saya akan bertahan… sampai saya benar-benar tidak bisa bertahan.

Tanpa terasa, 1 tahun sudah saya bekerja disana…. Semua jauh lebih baik, dan tanpa saya sadari… atasan saya mulai tergantung pada saya… so, saya sudah merasa tidak lagi dibawah pressure, coz I know how to manage him… hehehehe
Kemudian, Allah nampaknya masih belum puas dengan ketahananku… ujian lain pun datang. Bukan lagi pressure dari atasan, tapi… dari sebuah sistem. Yang ternyata bertentangan dengan prinsip-prinsip yang kuanut. Sistem yang sudah mendarah daging di Negara ini… yang saya tak perlu ceritakan. Dan ternyata, prinsip yang terlukai jauh lebih menyakitkan dari under pressure dalam kinerja. Jauhhh sekali.. dan itu terbukti dengan melemahnya ketahanan tubuh saya… hingga di 4 bulan terakhir saya disana, saya jadi manusia pesakitan. Setiap bulan sakit, setiap bulan test darah dan setiap hari minum obat. Tidur saya tak lagi nyenyak.. dan hati saya, jauh dari ketenangan. Dan akhirnya di 1 tahun 3 bulan, saya putuskan berhenti.

Saya rehat sejenak, kurang lebih sebulan untuk tidak berpikir kerja… tapi rupanya diam dirumah, tidak memperbaiki kondisi saya… malah rasanya tubuh saya semakin lemah dan daya tahan semakin turun. Dengan segenap keyakinan, saya putuskan untuk mencoba melamar pekerjaan…. Waktu berlalu hampir 3 bulan, semua surat lamaran yang saya kirim tak ada yang berhasil… oh, Rabbi.. kini kesabaran dan keikhlasanku diuji dengan cara yang lain… menganggur… dan ini tak kalah menekannya dengan kondisi kerjaku dulu. Apalagi saat itu posisi saya sudah selesai kuliah… jadi benar-benar jadi lulusan yang menganggur…

Suaru hari, dalam puncak kegelisan, saya pergi ke lantai 2 rumah dan termenung sendiri. Kembali merenungi keputusan-keputusan yang saya ambil, terutama keputusan untuk berhenti bekerja. Dan saya pun menemukan sebuah jawaban. Keputusan saya TIDAK SALAH. Saya resign demi sebuah prinsip yang saya yakini kebenarannya. Dan karena saya memutuskan untuk sebuah kebaikan, maka kebaikan pula lah yang akan saya dapatkan. Saya yakin… sangat yakin. Saya pun bersemangat kembali.

Dan itu terbukti di bulan keempat, saya mendapat pekerjaan baru… ditempat impian… tempat yang teduh karena banyak orang shaleh disana… ditempat yang menyejukkan hati karena Al-Quran dan amalan kebaikan adalah aktivitas kesehariannya… ditempat yang menenangkan, karena amanah adalah sebuah budaya kerja yang tak bisa diganggu gugat. Dan saya pun bersyukur… sangat dalam atas semua itu… mungkin inilah yang disebut buah kesabaran dan keikhlasan. Walaupun saya merasa malu kepada Allah, karena dalam masa transisi sebelumnya, rasanya hati saya jauh dari ikhlas dan sabar… duh Rabbi… x_x mungkin lebih tepatnya… ini adalah rahmat kasih sayang Allah, sehingga seorang yang tak sabaran dan jauh dari keikhlasan seperti saya, bisa merasakan kenikmatan seperti ini.

Tapi kini saya berpikir, ternyata ujian kesabaran dan keikhlasan saya waktu itu ga sederas akhir-akhir ini. Dan sore ini saya kepikiran untuk menulis, karena terlalu banyak yang mengusik kepala. Setiap ujian,  bobotnya berbeda-beda. Kita menganggap ujian ini sulit,tapi bagi yang lain enteng. Semua ada bobotnya dan bobotnya tergantung cara pandang masing-masing penerima. Dan cara pandang itu bisa luas bisa sempit tergantung samudra yang mewadahinya. Apakah samudra itu?

Samudra itu bernama hati, hati yang bisa merasa saat kita sedih atau senang. Namanya samudra, ya harus luas donkkk. Nah itu dia, harus meluaskan hati dengan sabar dan ikhlas, that’s the keys. Tuhan yang mengetahui  apa yang terbaik akan memberi kita kesusahan untuk menguji. Kadang Dia pun seolah “melukai hati”, supaya hikmat-Nya bisa tertanam dalam.

Jika kita kehilangan, maka pasti ada alasan di baliknya. Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti, namun kita tetap harus percaya bahwa ketika Dia mengambil sesuatu, Dia telah siap memberi yang lebih baik. Sekali lagi (entah sudah berapa kali saya tulis ini ya…) “sesuatu kadang harus terasa menyakitkan agar sesuatu yang lain terasa lebih menyenangkan”.

Kita harus merasakan sedihnya perpisahan, agar kita merasakan bahagia yang luar biasa saat pertemuan tiba. Kita harus merasakan sedihnya kehilangan, agar kita merasakan senangnya mendapatkan ganti. Kita harus merasakan sakitnya dikhianati, agar kita benar-benar memaknai arti kata loyal. Dan pasangan-pasangan perasaan lainnya, yang kadang pergantiannya tidaklah dalam waktu yang sebentar.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS 18:28)

Jangan terus merasa rapuh, karena banyak yang membersamai langkah kita. Sabar dan ikhlas mungkin susah untuk dikedepankan saat ini, tapi harus selalu dibangun sebagai fungsi logaritma dasar kehidupan. Kala bibir digigit, tangan menggenggam pasrah, bola mata menciut, air mata meleleh menahan sakitnya derita dan ujian, kau tahu dan kau rasa kita saat ini kita berada dalam kondisi paling lemah, tapi sebentar lagi Dia akan berikan kenikmatan yang tak terhingga harganya. Biarkan kesakitan-kesakitan ini menjelma menguasai jiwa, semoga Dia mengganti rasa sakit ini dengan kenikmatan dan keberkahan, ketika kita sudah sabar dan ikhlas dengan sesuatu yang memang ditakdirkan untuk kita. Sabar dan ikhlas, that’s the key. Semua nikmat yang ada di diri kita adalah amanah, bukan suatu hukuman atau pemuliaan. Dalam riuh batinmu, apapun itu, sebahagia atau semenderita kau saat ini, selalu memohon agar semua terasa nikmat untuk dijalani.

Biarkan kata-kata ini menjadi teman dalam hatimu.

“ Pengetahuanku tentang diriku atau tentang apapun amatlah sangat terbatas, sedang pengetahuan Allah meliputi segalanya, Ia Maha Tahu apa yang terbaik bagi ku sedang aku tak tahu apa yang terbaik bagiku, keputusan-Nya selalu yang terbaik, dan diriku pun harus husnudzon terhadap semua keputusan-Nya. “

Salam Takzim Penuh Cinta
Yaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacaan Populer