Rabu, 18 April 2012

"Mencintai" atau "Menyelamatkan Diri"


Pagi ini saya mendapati diri dalam kebimbangan antara mencintai atau menyelamatkan diri.

Setidaknya, saya ingat ada sekitar 4 percakapan dalam drama Korea Full House yang membahas tentang mencintai.

'Ketika kau mencintai seseorang, maka kau akan melindunginya. Bukan hanya melindungi fisiknya saja, tapi juga hatinya. Melindunginya agar tidak terluka, melindunginya agar selalu bahagia. Meski dalam proses melindungi itu, hati kita tercabik-cabik.'

Kurang lebih seperti itu yang saya tangkap dari beberapa percakapan.

Mencintai berarti melindungi. Melindungi merupakan kata kerja aktif dan mengandung makna memberi. Maka mencintai juga merupakan kata lain dari memberi. Memberi tiada henti, tak peduli kita akan mendapat balasan atau tidak. Tak peduli jiwa dan raga kita terluka karenanya. Karena, melihatnya bahagia membuat kita lupa bahwa kita telah banyak berkorban. Rasanya semua rasa sakit dan kelelahan sirna seiring senyumnya yang terkembang.

Begitu dahsyatnya Cinta.... Melindungi.

Namun, kemudian saya terjebak dalam rasa yang saya pertanyakan. Sampai sekarang, saya tidak tahu definisi cinta yang sebenarnya. Ada banyak definisi, ada banyak arti. Seperti apa rupa cinta, saya pun tak tahu pastinya. Sebab ia bisa menyerupai apa saja. Tapi yang pasti, satu yang saya yakini... Cinta adalah kebaikan, maka ia pun akan selalu membawa kebaikan. Tatkala bukan kebaikan yang hadir, maka, mungkin kita telah salah mengartikan antara rasa cinta dan nafsu.

Kembali kepada perasaan yang tengah saya rasakan.
Apakah memang seorang pencinta itu harus selalu berkorban untuk yang dicintainya tanpa dia peduli pada dirinya? Ataukah seharusnya ada sebuah 'proposionalisme' alias keseimbangan dalam proses mencintai? Atau tergantung siapa dan apa yang kita cintai?

Sebenarnya, saya sudah punya jawaban sendiri atas 3 pertanyaan itu. Tapi mungkin, saat ini saya sedang mencari pembenaran diri dengan kembali melemparnya dicoretan ini. Saya berharap ada yang berpikiran sama dengan saya dan memberikan sebuah penjelasan yang semakin meyakinkan saya untuk memutuskan.

Menurut saya, dalam mencintai harus ada keseimbangan. Tak hanya terus berkorban dan menjadikan diri kita hancur lebur asalkan yang kita cinta bersinar. Bagi saya, itu bagian dari mendzolimi diri sendiri. Bukankah Allah juga tidak suka kepada segala hal yang berlebihan?? Bahkan dalam menempatkan antara kepentingan dunia dan akhirat pun, kita diperintahkan untuk seimbang. Artinya tidak terlalu menggugu dunia, tapi tidak juga terus menerus mengejar akhirat hingga kita lupa bahwa kita masih hidup.

Keseimbangan adalah kunci kebahagiaan.

Kemudian, saya ingin bertanya. Ketika kita mencintai sesuatu atau seseorang, kemudian yang kita cintai itu memutuskan satu hal yang akan menghancurkannya. Sayangnya, saat itu kita mendapati diri tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan melihatnya roboh sedikit demi sedikit. Apa yang akan Sobat lakukan? Berdiam diri dan terus melihatnya, menyaksikan dan mendampingi proses kehancurannya? Atau pergi.... karena tak sanggup melihatnya hancur.

Yang manakah yang Sobat pilih?
Apakah ketika kita ambil opsi untuk pergi, atas ketidaksanggupan kita itu berarti kita tidak mencintai? Apakah itu kita berarti kita tengah menyelamatkan diri, menyelamatkan hati kita dari rasa sakit? Apakah itu berarti kita tak melindungi, tak memberi?

Cinta adalah memberi
Cinta adalah melindungi
Cinta adalah rasa
Cinta adalah memori
Cinta adalah imajinasi
Cinta adalah toleransi
Cinta adalah peduli
Dan... Cinta adalah menyayangi diri sendiri...

Salam takzim
Yaya

3 komentar:

Bacaan Populer